Booming Golongan “Middle Class” Indonesia
Berdasarkan data BPS, pertumbuhan ekonomi Indonesia yang diwakili oleh PDB adalah 5,8% (Q3 2009 – Q3 2010). Banyak kritik yang ditujukan terhadap angka tersebut karena pada kenyataannya kita masih melihat kemiskinan ada di mana-mana. Masih banyak orang yang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari pun masih mengalami kesulitan. Secara intuitif kita akan menduga bahwa terdapat distribusi pertumbuhan yang tidak merata sehingga walaupun mencatat pertumbuhan yang cukup mengesankan, masih banyak terdapat kesenjangan di mana-mana. Karena saya tinggal di Jakarta, saya dapat mengamati fenomena menarik yang muncul belakangan ini. Dari waktu ke waktu, jumlah mal yang ada di Jakarta terus bertambah. Yang mengherankan, jarang sekali kita mendapati mal yang sepi, terlebih ketika weekend. Hal lain yang saya perhatikan adalah semakin banyaknya alokasi area di mal yang digunakan sebagai tempat nongkrong (dalam bentuk kafe atau food court). Hmmm. Apakah Anda pernah memperhatikan bahwa jumlah kendaraan pribadi, khususnya mobil semakin bertambah banyak, terutama untuk mobil-mobil kelas low end-middle end yang harganya berkisar antara 100-250 jt rupiah? Apakah Anda pernah memperhatikan bahwa setiap weekend, Puncak dan Bandung selalu dipadati oleh warga Jakarta yang hendak berekreasi? Apakah Anda memperhatikan bahwa akhir-akhir ini semakin marak munculnya semacam kesadaran untuk melakukan financial planning di kalangan keluarga-keluarga muda? Indikasi-indikasi di atas saling berkaitan dan menuju ke suatu golongan yang disebut dengan golongan kelas menengah (middle class) atau lebih tepatnya golongan kelas menengah ke atas. Orang-orang yang berada di dalam golongan ini umumnya sudah relatif cukup mapan hidupnya walaupun tidak terlalu berlebih. Mereka sudah mampu untuk mencicil rumah, membeli mobil/motor, membiayai pendidikan anak, dan sesekali berlibur ke luar kota. Mal-mal di Jakarta penuh diisi oleh mereka yang nongkrong di Starbucks, KFC, Burger King, J.Co, dan berbagai macam tempat sejenis lainnya. Mereka sudah cukup secara finansial namun belum berlebih sehingga masih membutuhkan perencanaan keuangan yang cukup cermat agar dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Sebenarnya apa yang disebut dengan “Middle Class” di negara berkembang seperti Indonesia ini? Ada beberapa pendapat mengenainya (dari blognya World Bank): Banerjee and Duflo (2007) memberikan batasan golongan menengah adalah mereka yang memiliki pendapatan per hari sekitar $2-10$ per orang. Jadi jika sebuah keluarga yang memiliki 2 anak (4 anggota), akan disebut sebagai middle class jika pendapatannya berada di kisaran 2 juta sampai dengan 11 juta per bulan. Ravallion (2009) memberikan batas $2 sampai dengan $13 per orang per hari. Yang menarik, Ravallion memberikan batas atas $13 berdasarkan garis batas bawah kemiskinan di U.S. Artinya, orang-orang dengan pendapat tersebut tidak dapat dikatakan miskin di negara berkembang namun dari sudut pandang negara maju, mereka sudah di bawah garis kemiskinan J Birdsall (2010) memberikan batasan bahwa middle class memiliki pendapatan minimal $13 per hari per orang dan tidak masuk ke dalam 5% teratas dari distribusi pendapatan suatu negara. Saya sendiri mungkin lebih cenderung mengikuti pendapat dari Ravallion yang menaikkan batas atas pendapatan kaum middle class per rumah tangga dengan dua anak menjadi sekitar 14 juta rupiah per bulan. Sebuah artikel di Financial Times menyebutkan bahwa Euromonitor, sebuah lembaga riset pasar, memprediksi bahwa jumlah rumah tangga di Indonesia dengan konsumsi rata-rata $5.000 – $15.000 per tahun (sekitar 45 – 135 juta rupiah) akan tumbuh dari 36% menjadi 58% dari populasi pada tahun 2020. Dengan prediksi proporsi golongan middle class sebesar itu, sangat mungkin pertumbuhan Indonesia yang cukup pesat ditopang oleh mereka. Kemunculan golongan middle class ini sempat terhenti saat krisis moneter tahun 1997 dan mulai bertambah dengan pesat sampai dengan saat ini. Yang menarik, fenomena ini tidak terjadi hanya di Indonesia, akan tetapi juga di negara-negara berkembang lain. Jim O’Neill, ekonom Goldman Sach mengatakan bahwa pada tahun 2009, di seluruh dunia terdapat 70 juta anggota baru golongan ini dan pada tahun 2020 diperkirakan jumlah middle class di negara-negara berkembang diperkirakan akan menjadi 1 miliar. Suatu jumlah yang luar biasa. Yang menjadi pertanyaan bagi saya adalah, apakah pertumbuhan yang luar biasa ini hanya dialami oleh warga Jakarta ataukah juga dialami oleh masyarakat Indonesia yang berada di luar Jawa? Data dari BPS menunjukkan bahwa pada kuartal III 2010, empat provinsi yang menjadi kontributor pertumbuhan GDP terbesar di Indonesia adalah DKI Jakarta (16,5%) , Jawa Barat (13,7%), Jawa Tengah (8,5%), dan Jawa Timur (15,1%). Dengan kata lain, 53,8% pertumbuhan ekonomi Indonesia ditopang oleh keempat provinsi tersebut. Sepertinya masih cerita yang lama. Sumber: Pojok Ide
|
Comments
Kemakmuran, Kemiskinan,dan Statistrik
Menurut saya, bisa dipertimbangkan Prinsip Pareto yang menyatakan bahwa untuk banyak kejadian, sekitar 80% daripada efeknya disebabkan oleh 20% dari penyebabnya. Dalam konteks Indonesia bisa dinyatakan bahwa 20% orang Indonesia menguasai 80% PDB Indonesia. Dari sini bisa ditarik lg pertumbuhan ekonomi yg 5,8% itu hanya dinimati oleh 20% penduduk Indonesia, sementara 80% jalan di tempat atau bahkan mundur.
Kalau kita melihat 'statistrik' (bukan semata 'statistik') yg dikeluarkan Pemerintah / BPS yang mengatakan income perkapita Indonesia 2010 adalah 27 juta per tahun atau USD 3,000 (yang katanya merupakan level psikologis), sekilas 'kan menyatakan bahwa rata2 penduduk Indonesia segitu pendapatannya, berarti gaji/penghasilan bulanannya 2,25juta. Wuih dahsyat! Lagi2 statistrik!
Kalau kita mau jeli, bisa kita baca ulang seperti ini:
Dengan asumsi jumlah penduduk Indonesia 240 juta jiwa, PDB Nasional 6.422 trilyun, maka:
20% dari 240 juta jiwa = 48 juta jiwa menikmati 80% PDB senilai 5.137,6 trilyun, yaitu income per kapita di kelas ini senilai 107 juta per tahun atau 8,916 juta per bulan!
Sedangkan 80% penduduk lainnya, yaitu sejumlah 192 juta jiwa hanya menikmati kue PDB senilai Rp 1.284,4 trilyun,yang berarti income perkapita di kelas ini hanyalah Rp 6,689 juta per tahun atau sekitar Rp 557.000 per bulan ! Miris kan!...
Saya punya keyakinan realitasnya tidak akan berbeda jauh dari ini! Kita perlu pemerataan dan redefinisi apa itu kemiskinan dan batasannya, dengan sendirinya kemakmuran dan batasannya bukan semata angka-angka statistik yang bisa di-tricky-kan!
Saya setuju dengan Bro dunkz's 'sepertinya masih cerita yang lama'.