MacGyver, DINAR dan Socially Responsible Investing
Mungkin sebagian besar pembaca blog ini bingung membaca judul artikel saya yang ini, karena tidak tahu apa kaitan antara MacGyver, DINAR dan juga Socially Responsible Investing. Mungkin sebagian di antara teman-teman bahkan bahkan tidak tahu apa/siapa itu MacGyver. MacGyver adalah nama sebuah film seri (sekaligus tokoh utama dalam film seri tersebut) yang sangat populer sewaktu saya SMP-SMA. Tokoh MacGyver itu digambarkan sebagai seseorang yang sangat kreatif dalam berpikir sehingga ia bisa keluar dari berbagai kesulitan dengan menggunakan berbagai barang sehari-hari (misalnya lakban, deterjen, dll). Lalu apa kaitan MacGyver dengan Danareksa Indeks Syariah (DINAR) dan Socially Responsible Investing (SRI)?<!--more--> -----oOo----- Saya menyinggung MacGyver dalam artikel ini karena suatu benda yang menjadi 'ciri khas' MacGyver. Dalam aksinya, MacGyver selalu mengandalkan sebuah 'senjata' yang ia bawa kemana-mana, yaitu pisau Swiss Army (Victorinox). Seperti yang kita tahu, pisau Swiss Army merupakan kumpulan dari berbagai alat, sehingga mempunyai berbagai fungsi. Dengan dibantu alat-alat yang ada di dalam pisau Swiss Army ini, MacGyver bisa keluar dari berbagai permasalahan yang dihadapinya. Dalam dunia investasi, sebenarnya para investor juga bisa memiliki 'pisau Swiss Army'. Apa wujud dari pisau Swiss Army ala dunia Investasi? Jawabannya adalah : Index Investing, yang pernah saya singgung di artikel di blog saya. (PS: Mohon diperhatikan bahwa Index Investing di sini bukanlah 'permainan' tebak-tebakan index, baik Hangseng, Nikkei ataupun Kospi spt yang kerap ditawarkan oleh berbagai perusahaan di Indonesia. Produk -produk tersebut tidak layak dikategorikan sebagai investasi). Dalam melakukan Index Investing di saham, kita berinvestasi di seluruh perusahaan yang terdaftar pada sebuah index. Jika misalkan kita melakukan Index Investing di index S&P 500, berarti kita berinvestasi di seluruh 500 perusahaan yang termasuk di dalam index S&P 500 tersebut. Lalu apa manfaatnya? Sebagai investor di saham, kita harus melihat diri kita sebagai pemilik perusahaan yang menerbitkan saham tersebut. Dalam hal S&P 500 misalnya, kita harus berpikir 'oh, saya adalah pemilik 500 perusahaan terbesar Amerika'. 500 perusahaan yang kita miliki itu terdiri dari berbagai macam perusahaan yang berada di berbagai macam sektor, manufaktur, finansial, teknologi, dll. Seperti kita tahu, dunia usaha itu mempunyai siklus, dimana siklus setiap sektor usaha itu berbeda-beda. Dalam kondisi tertentu, mungkin sektor A kurang bagus, tetapi sektor B justru melejit. Sebaliknya, di kondisi lain, performa sektor A akan menonjol, tetapi sektor B justru 'memble'. Melanjutkan ilustrasi saya di S&P 500, sebagai pemilik 500 perusahaan di atas, kita bisa berpikir 'Wah, usaha saya yang A sedang kurang bagus, tetapi untung saja usaha saya yang di bidang B sedang maju pesat'. Tiada bedanya dengan seorang konglomerat (yg punya berbagai macam usaha), kita mempunyai banyak 'ladang' yang bisa diandalkan. Ini merupakan ilustrasi sederhana dari konsep Diversifikasi. Di setiap kondisi ekonomi, biasanya ada sektor yang hasilnya akan relatif bagus dibandingkan sektor lain, dan berkat diversifikasi (dengan index investing), kita hampir bisa dipastikan akan mempunyai saham di sektor tersebut. Dilihat dari aspek ini, index investing bisa dikatakan mirip dengan pisau Swiss Army milik MacGyver, karena menawarkan 'solusi' utk setiap 'permasalahan' yang kita hadapi dalam investasi kita. -----oOo----- Lalu apa kaitannya pisau MacGyver di atas dengan Danareksa Index Syariah (DINAR) dan Socially Responsible Investing (SRI)? Mungkin ada baiknya di sini saya berbicara mengenai DINAR dan SRI terlebih dahulu. DINAR yang saya tulis di artikel ini bukanlah mata uang dinar irak. DINAR dalam hal ini merupakan sebuah reksadana index (produk dari PT. Danareksa) yang mengacu kepada Jakarta Islamic Index (JII). Jakarta Islamic Index sendiri berisikan 30 perusahaan yang aktivitas bisnisnya tidak bertentangan dengan prinsip Syariah Islam, antara lain :
Socially Responsible Investing (SRI) di lain sisi merupakan suatu konsep investasi dimana seseorang dalam menjalankan investasinya mempertimbangkan juga faktor 'tanggung jawab sosial'-nya. Dalam SRI, seseorang biasanya menolak utk berinvestasi di perusahaan yang dianggapnya 'berefek sosial negatif' terhadap masyarakat, misalnya perusahaan yang memproduksi senjata, alkohol, berkontribusi dalam 'perusakan lingkungan', dll. Dilihat dari operasionalnya, sebenarnya DINAR dan SRI bisa dikatakan hampir sejenis, yaitu investasi dengan 'batasan'. Dalam DINAR, batasannya adalah agama, sedangkan dalam SRI batasannya adalah keyakinan pribadi orang itu. Keduanya secara umum akan menolak berinvestasi dalam saham-saham 'dosa' (Sin Stock), yaitu saham-saham perusahaan industri judi, alkohol, dan juga rokok. -----oOo----- Lalu bagaimana dampak adanya 'batasan' dalam investasi di atas? Satu hal yang menarik di sini adalah karakter dari saham-saham Sin Stock. Selain dihindari oleh investor yang terikat 'batasan' (baik agama maupun keyakinan pribadi), Sin Stock juga biasanya dijauhi oleh investor institusi (karena masalah image di masyarakat). Akibat dijauhinya saham-saham ini, kerap kali Sin Stock justru mempunyai Value/nilai yang menarik jika dibandingkan dengan harganya. Hal kedua yang menarik dari Sin Stock adalah karena produk-produk perusahaan mereka bisa dikatakan 'tahan banting', terutama utk alkohol dan rokok. Meskipun agak miris, tetapi tidak bisa dipungkiri, ketika resesi pun kebanyakan perokok akan tetap merokok dan orang akan tetap minum alkohol (malah mungkin semakin banyak?). Dalam aspek ini, bisa dikatakan bahwa saham-saham Sin Stock mempunyai karakter defensif yang akan 'menolong' hasil investasi kita ketika resesi. Jika kita kembali ke ilustrasi MacGyver dan pisau Swiss Army-nya, dalam hal ini mungkin investasi dengan 'batasan' seperti DINAR dan SRI bisa kita ibaratkan seperti pisau Swiss Army yang tidak begitu lengkap, misalkan tidak ada obengnya. Akibatnya ketika kita butuh obeng, mungkin kita akan sedikit mengalami masalah. -----oOo----- Di akhir artikel ini, saya ingin menekankan bahwa dalam hal ini bukan berarti saya berkata investasi dengan 'batasan' seperti investasi syariah dan SRI itu tidak bagus. Salah satu hal yang penting ditanyakan dalam menjalankan investasi adalah apakah kita bisa tidur nyenyak dengan investasi kita? Jika karena investasi, kita tidak bisa tidur nyenyak karena merasa berdosa/bersalah (krn aturan agama maupun krn keyakinan pribadi), berarti investasi yang kita jalankan itu sudah 'salah'. Tetapi dalam kasus di mana kita tidak terikat oleh batasan-batasan tersebut, mungkin perlu dipikirkan lagi apakah kita ingin membeli pisau Swiss Army yang tidak ada obengnya. ...
Jadi anda termasuk golongan investor yang mana? Obeng atau tanpa obeng?
|
Comments
Golongan nafsu logika apa nurani agama ?
Sebenarnya dan seharusnya sih investor Indonesia - yang punya Pancasila dengan sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa… nah berarti kan pada punya agama tuh… - masuk golongan investor tanpa obeng… kecuali investor yang meninggalkan agamanya dalam memilih produk investasi… semua produk halal… no sin no sin… atau.. aah diikiit ini lah… atau 1001 alasan dibuatnya spy dia memaklumkan nafsu dan logika kalkulasi investasinya… meskipun hati nurani (agama) menolaknya… mudah-mudahan seh di PRD gak ada yg gitu ya…
Malah bukan MacGyver namanya kalau hanya karena tanpa obeng aja lantas dia gak bisa nyelesaian masalahnya…
Jadi anda termasuk golongan investor yang mana ? ikut nafsu logika atau nurani agama ?
Syiar Syariah dengan RD Syariah
Duh, jadi khawatir timbul
Duh, jadi khawatir timbul salah paham... padahal fokus saya bukanlah ke arah keagamaan tetapi investasi dengan 'batasan'
Pertama-tama, tidak semua agama di Indonesia melarang hal seperti rokok dan alkohol.
Kedua, jika seseorang melakukan prinsip syariah dalam investasinya, tetapi dalam kehidupan sehari-hari tetap merokok, punya tabungan/deposito di bank konvensional, maka sebenarnya penerapan syariahnya cuma 1/2-1/2.
Seperti yang kita tahu, justru yang lebih banyak adalah yang termasuk ke kriteria ini.
Sebenarnya jika diteliti lebih dalam, batasan penerapan prinsip syariah dalam investasi belum ada ketentuan baku yang sampai jelas (masih diperdebatkan). Jika memakai aturan yg paling ketat, maka perusahaan-perusahaan yang masuk dalam JII pun tidak 100% memenuhi prinsip syariah.
Happy Investing !!!
Read my blog about investing at JanganSerakah.com
Yup..setuju sekali. Apalg
Yup..setuju sekali. Apalg kalo dibandingkan dgn bursa New York, aturan syariah di Indo masih sangat liberal. Lha di sana DER max 30%, coba diterapkan di JII gak ada yg bakalan masuk.
Masih Balita?... mungkin...
Ya... itulah masalahnya, instrument & produk syariah kita mungkin bisa dikatakan masih balita dibandingkan Negara lain... jd perlu didukung supaya cepat tumbuh dan sehat ...
Ketertinggalan itu bs jd karena respon yang kurang bagus... adalah kewajiban kt bersama untuk membangunnya... minimal dimulai dgn memilih produk yg sesuai... bukan krn masih balita atau masih liberal atau gak ada obengnya atau apalah lantas malah ditinggalkan... ya gak maju2 donk... tidak masalah setengah2 krn semua perlu proses... bertahap dan seiring dgn waktu juga akan jadi kaffah (utuh/total/menyeluruh)... yg pentingkan, luruskan niatnya dulu...
Buat saya yang penting mengarah/sesuai dgn ajaran agama… kalau menunggu sampai system syariah kita sempurna… lah kapan waktunya kan gak tau… sama dengan umur, juga gak ada yang tau…
Maaf bro… dan temans investor… ini opini katrok saya yang terus berproses menerapkan aturan agama yang saya yakini… boleh setuju boleh tidak… pilihan dan resiko ditangan masing2… hehehe…
INVESTASIKAN DUNIA MU UNTUK AKHERAT MU
Syiar Syariah dengan RD Syariah
nice share, bro
yg ingin saya kemukakan adalah, kaitan antara artikel anda yg paling pertama n palimg terakhir ini.
pertanyaan saya, apakah JII juga memiliki "wajah" yg tidak jauh berbeda dgn IHSG (dimana IHSG memiliki porsentase terbesar di komoditi-energi sehingga terkesan sangat tidak seimbang) ?
Tentu saja tidak jauh
Tentu saja tidak jauh berbeda, karena memang alternatif pilihan sahamnya ya itu-itu saja... :)
Perbedaan yg paling signifikan mungkin adalah tiadanya bank-bank konvensional dalam JII
Happy Investing !!!
Read my blog about investing at JanganSerakah.com
Utk kondisi di Indo, mungkin
Utk kondisi di Indo, mungkin sin stock tidak begitu terpengaruh sh. Malah menurut sy, salah satu kriteria JII cukup menarik yaitu rasio hutang yg tidak boleh melebihi batas tertentu. Sehingga menarik utk alternatif investasi krn mestinya perusahaan yg masuk JII akan sustain dlm jangka waktu panjang krn kondisi keuangan yang sehat. Memang ada 1 kelemahan, dimana bobot JII terlalu besar di sektor komoditas. Tp it's a choice...
Kalau utk kasus di
Kalau utk kasus di Indonesia, yaitu JII, mungkin yg lebih mencolok selain tiadanya Sin STock, adalah 'diblokir'nya saham perusahaan finansial 'konvensional' yg operasinya ada terkait dengan bunga (alias bank non syariah)
Happy Investing !!!
Read my blog about investing at JanganSerakah.com
Bos adit, maaf setoran kurang :)
Maaf ya bos adit, baru sempat share post ini ke portal, agak lama karena baru mulai terbiasa cara post di sini, dan juga dari kemarin sibuk mengurus Stand Up 2 Cancer :)
Saya terpikir utk share post yg ini di sini karena ada kaitannya dengan reksadana DINAR. Mudah-mudahan bisa kasih perspektif baru buat teman-teman....
Happy Investing !!!
Read my blog about investing at JanganSerakah.com