Mengetahui Volatilitas Reksadana, Perlukah?
Saat berinvestasi di instrumen reksadana, mungkin sebagian dari kita hanya mempertimbangkan MI yang ‘bonafid’ serta catatan return masa lalu yang cukup tinggi. Memang cara tersebut adalah cara yang termudah. Lagi pula, reksadana memang didesain agar investor tidak perlu memusingkan bagaimana mengalokasikan dana untuk berinvestasi. Bagi Anda yang ingin mengetahui lebih dalam mengenai reksadana Anda, salah satu parameter yang bisa kita perhatikan adalah volatilitas. Apa itu volatilitas? Volatilitas adalah kecepatan naik turunnya return sebuah reksadana. Volatilitas tidak hanya terbatas pada reksadana namun juga seluruh instrumen investasi, baik saham, emas, obligasi atau instrumen-instrumen lainnya. Semakin tinggi volatilitasnya, maka ’kepastian’ return suatu reksadana semakin rendah. Biasanya yang digunakan untuk mengukur volatilitas adalah standar deviasi. Nilai standar deviasi suatu reksadana dapat dihitung menggunakan Microsoft Excel. Volatilitas itu bagaikan pedang bermata dua. Semakin tinggi volatilitas, maka potensi return akan semakin tinggi. Volatilitas yang rendah menunjukkan kestabilan nilai return, akan tetapi umumnya returnnya tidak terlalu tinggi. Cukup adil bukan? Sekarang coba kita mencoba lebih memahami arti dari volatilitas. Mulai saat ini, saya akan mengganti volatilitas dengan standar deviasi. Perhatikan contoh berikut: Katakanlah kita memiliki data return selama 5 tahun dari 2 buah reksadana :
Return rata-rata kedua buah reksadana tersebut sama, yaitu 10% per tahun. Perbedaan yang sangat mencolok adalah standar deviasinya yaitu 28,9% untuk reksadana A dan 2,52% untuk reksadana B. Kalau kita perhatikan lebih teliti, terlihat bahwa return reksadana A sangat fluktuatif dan bahkan mengalami nilai negatif di tahun ke-2 dan tahun ke-4 sedangkan return reksadana B cukup stabil. Seandainya kita memiliki dana sebesar Rp 10 juta yang akan kita investasikan, maka kita buat dahulu simulasi bagaimana perkembangan dana kita jika diinvestasikan ke kedua reksadana tersebut.
Jika dana tersebut kita investasikan selama 5 tahun, maka pada akhir tahun ke-5 kedua reksadana akan menghasilkan gain yang sama. Jumlah investasi kita akan menjadi Rp 16 juta. Namun bagaimana seandainya pada akhir tahun ke-4 tiba-tiba kita ada keperluan mendadak sehingga kita membutuhkan dana yang sedang kita investasikan tersebut? Jika kita investasikan dana kita di reksadana A, maka nilai dana kita hanya Rp12,8 juta. Namun apa yang terjadi jika kita menginvestasikan dana kita di reksadana B?Ternyata dana kita telah tumbuh lebih besar yaitu menjadi Rp 15 juta. Dari ilustrasi di atas terlihat bahwa selain return, kita juga perlu memperhatikan bagaimana return itu dicapai. Apakah return reksadana kita dicapai oleh MI dengan menempuh risiko yang tidak perlu sehingga volatilitas(fluktuasi) returnnya menjadi tinggi? Ataukah MI dapat berinvestasi dengan lebih ’kalem’ sehingga jumlah return yang sama dapat dicapai tanpa mengakibatkan fluktuasi return yang berlebihan? Tentu saja dalam jangka yang cukup panjang, biasanya reksadana yang volatilitasnya tinggi (misal reksadana saham) returnnya lebih tinggi daripada return dari reksadana pendapatan tetap. Untuk kelas aset yang berbeda seringkali kita tidak dapat menghindari risiko yang ditimbulkan oleh karakter instrumen itu sendiri. Sebagai investor, kita memiliki 2 pilihan : ’eat well’ atau ’sleep well’ :) Selamat berinvestasi!
|
Comments
Tanya standar deviasi
Suhu, gimana caranya menghitung standar deviasi?Tolong pencerahannya yah.....
Trims
Kalo pake excel tinggal
Kalo pake excel tinggal masukin formula:
=STDEV(X1:Xn)
dengan X1 s.d Xn adalah deretan return.
Saya menggunakan geometric
Saya menggunakan geometric return. Yang bro hitung itu adalah arithmetic return. Geometric return lebih baik untuk menjelaskan efek compunded.
Formulanya : r = (r(t+1) / r(t)) ^ (1/(n-1)) - 1
Monggo difasilitasi
Bung autogebet monggo difasilitasi toolnya, biar member pada kecanduan ama PRDC ;))
1 hari dah jadikan, he he he