Ulasan dan Outlook Investasi Juli 2013
Paruh pertama tahun ini baru saja kita lalui. Apa saja yang terjadi di pasar modal global dan Indonesia selama bulan Juni dan bagaimana kami di First State Investments Indonesia menyikapinya dalam bentuk strategi portofolio? Berikut kami sampaikan ulasannya. Ulasan makroekonomi & pasar modal global Pasar saham global ditutup dengan kinerja yang kurang menggembirakan di bulan Juni, meskipun jika dihitung sejak awal tahun (YTD) umumnya bursa-bursa besar dunia masih membukukan kinerja positif. Bursa AS ditutup melemah dengan Dow, S&P dan Nasdaq turun masing-masing sebesar 1,36%, 1,50% dan 1,52%. Sentimen pasar meredup di tengah kekhawatiran akan rencana Fed untuk mengurangi pelonggaran kuantitatif dan meningkatnya risiko kredit di China. Selain itu, menguatnya USD, pelemahan yen dan data pertumbuhan China yang terus tercatat mengecewakan dapat menyebabkan momentum pendapatan memburuk, sehingga menyebabkan kerentanan jangka pendek.
Harga minyak mentah Brent ditutup di USD 102,16/barrel di akhir Juni, naik sekitar 1,8% dari harga per akhir bulan Mei. Ulasan makroekonomi & pasar modal Indonesia Inflasi Indonesia di bulan Juni sehingga CPI turun naik dari 5,47% di bulan sebelumnya menjadi 5,90% yoy. Dampak kenaikan harga BBM bersubsidi dan percepatan kenaikan harga pangan merupakan sumber utama. Kelompok transportasi merupakan kontributor terbesar, menyumbang 0.57% terhadap total inflasi karena kenaikan harga BBM bersubsidi pemerintah. Efek putaran pertama berasal dari kenaikan biaya bahan bakar yang menyumbang 0.34% terhadap total inflasi, diikuti oleh efek putaran kedua dengan biaya transportasi dalam kota yang lebih tinggi (0.20%). Kelompok bahan makanan mentah memberikan kontribusi terbesar kedua, sebesar 0.30% terhadap total inflasi. Secara keseluruhan, kedua kelompok mencakup 85% dari inflasi bulanan. Namun, inflasi inti tetap di bawah radar. Terlepas dari hiruk-pikuk kenaikan harga BBM, penurunan harga emas memperlambat laju inflasi inti di 3,98% yoy di bulan Juni, angka terendah dalam tiga tahun terakhir. Sementara itu, risiko biaya produsen merembet ke harga konsumen karena kenaikan upah minimum dan tarif listrik masih belum terlihat mengingat indeks harga grosir non minyak dan gas tetap dalam tren menurun. Dalam beberapa konteks, para ekonom menilai meningkatnya biaya produsen sebagian diimbangi oleh rendahnya harga komoditas (yaitu rendahnya imported inflation) dan sebagai konsekuensi dari permintaan domestik yang lebih rendah (tercermin dari pelonggaran pertumbuhan ekonomi). Efek keseluruhan (full-blown effect) atas kenaikan harga BBM bersubsidi akan terlihat pada bulan Juli. Inflasi kemungkinan akan meningkat bulan depan di atas 8% sebagai dampak dari kenaikan harga BBM. Mengingat kenaikan harga BBM bersubsidi baru diumumkan pada minggu terakhir Juni, kita hanya melihat 1/4 dari dampaknya terhadap inflasi (perkiraan dampak total adalah 2,4%), sedangkan sisanya diharapkan akan tercermin di inflasi Juli. Efek keseluruhan diperparah oleh awal musim sekolah dan bulan puasa di bulan depan.
Sebagai respon atas tingginya ekspektasi inflasi, Bank Indonesia secara tak terduga menaikkan tingkat suku bunga acuannya sebesar 25 basis poin menjadi 6%. Biro Pusat Statistik juga mengumumkan data perdagangan Mei di mana defisit perdagangan turun menjadi US$ 0,6 milyar dari US$ 1,7 milyar di April, sejalan dengan konsensus sebesar US$ 0,61 milyar, karena kinerja ekspor yang melampaui impor. Secara spesifik, ekspor melaju 8,9% selama sebulan dari kontraksi sebelumnya sebesar 1,8%. Laju impor, di sisi lain, turun menjadi 1,2% selama sebulan dari 10,6% di bulan sebelumnya. Cadangan devisa Indonesia turun ke level terendah dalam 2 tahun di bulan Juni karena Bank Indonesia melakukan intervensi untuk menahan pelemahan Rupiah (yang terdepresiasi sehingga menembus angka psikologis 10.000/USD), menambah tekanan pada bank sentral untuk menaikkan suku bunga. Cadangan turun menjadi $98,01 trilyun di bulan Juni dari $105,15 trilyun pada bulan Mei. Ini merupakan terendah sejak Januari 2011 menurut data yang dirangkum oleh Bloomberg. Harga obligasi lokal Indonesia sebagaimana diukur oleh HSBC Local Bond Index turun 7,4% menjadi 664.26 dari 717,32. Yield obligasi bertenor 10 tahun naik menjadi 7,1% dari 5,9%. Investor asing mengurangi kepemilikan obligasi mereka menjadi Rp 282,96 trilyun di akhir bulan Juni dari Rp 302,94 trilyun di akhir bulan Mei. Grafik 1: Porsi kepemilikan asing di Surat Berharga Negara yang Diperdagangkan (Rp trilyun) Sumber: Dirjen Pengelolaan Utang, Depkeu RI Sedangkan untuk efek pasar uang, SPN bertenor 1 tahun diperdagangkan di yield 6,3%, SPN 3 bulan di 5,2% dan obligasi korporasi bertenor 1 tahun dengan peringkat kredit AA di 6,8%. IHSG berhasil bertahan di tingkat positif dengan membukukan kenaikan tipis sebesar 0,69% menjadi 5,068.63, sementara indeks LQ45 turun sebesar 2,1% menjadi 839,47. Nilai rata-rata nilai perdagangan harian meningkat sebesar 31,6% menjadi Rp 8,3 trilyun di Mei13. Nilai penjualan bersih investor asing adalah Rp 356 milyar dibandingkan dengan pembelian bersih sebesar Rp 722 milyar di bulan lalu. Ketidakpastian seputar isu kenaikan harga BBM tampaknya memaksa investor asing untuk mengambil keuntungan dan mencari aset yang lebih murah di luar Indonesia seperti Amerika. Sektor pertanian dan infrastruktur merupakan sektor yang membukukan kinerja positif selama bulan Juni. Tabel 3: Emiten penggerak IHSG selama Juni 2013 Sumber: Bloomberg, per 28 Juni 2013 Grafik 2: Kinerja sektor-sektor IHSG selama Juni 2013
Sumber: Bloomberg, per 28 Juni 2013 Outlook Juli 2013 Pasar saham kelihatannya belum memiliki arah yang jelas saat ini, dan juga sensitif terhadap 2 level psikologis: cadangan devisa dan nilai tukar Rupiah, masing-masing di level USD 100 milyar dan 10.000/USD. Kami memandang bahwa valuasi saat ini masih kurang atraktif, terutama jika fundamental memburuk, sehingga kami tetap waspada dengan memegang lebih banyak dana kas dan mencari peluang untuk membeli saham jika kami menemukan saham-saham yang valuasinya atraktif. Kami melakukan underweight di sektor pertambangan, terutama batubara, karena kami melihat kemungkinan bahwa proyeksi pendapatan akan direvisi turun akibat turunnya ekspekasi harga dan tingkat permintaan masa depan. Untuk portofolio pendapatan tetap kami menilai bahwa untuk tahun 2013 potensi imbal hasil di efek pendapatan tetap/obligasi sudah terbatas. Dari segi komponen imbal hasil, perolehan bunga kupon akan lebih mendominasi ketimbang capital gain (perolehan laba akibat apresiasi/kenaikan harga). Implementasi strategi portofolio kami lakukan dengan menetapkan durasi portofolio lebih rendah (underweight) daripada durasi tolok ukur dan memanfaatkan setiap momen koreksi di pasar obligasi untuk menaikkan durasi portofolio. Kami tetap defensif dengan mempertahankan posisi underweight atas durasi portofolio sebagai antisipasi kenaikan yield obligasi akibat tekanan inflasi. Kami mencari peluang untuk menaikkan durasi portofolio dengan menambah kepemilikan di obligasi pemerintah.
|