Konsep Teori dari buku ‘The Little Book of Common Sense Investing’ oleh John C. Bogle, pendiri dan mantan CEO dari Vanguard Mutual Fund Group (Salah satu perusahaan MI terbesar di Amerika)
Sebelumnya saya ingin meminta maaf kalau kalimat terjemahan saya kurang ‘enak’ untuk dipahami, karena saya tidak membaca edisi terjemahan resmi dari buku tersebut.
Belakangan ini saya merasa diskusi kita di portal lebih banyak ke arah ‘trader/technical’ daripada ‘investor/fundamental’. Kita berdiskusi tentang timing untuk masuk pasar, membandingkan performance satu MI dengan MI yang lain, meranking tiap produk reksadana, dsb. Hal ini menyebabkan forum terasa kurang ‘seimbang’.
Oleh karena itu saya ingin menyampaikan beberapa konsep menarik dari buku ini yg layak kita pertimbangkan. Pada dasarnya buku ini mempromosikan investasi dengan reksadana indeks (yang sayangnya kurang/belum populer di Indonesia) dengan asumsi bahwa investasi dalam reksadana (saham) akan dilakukan untuk jangka panjang, namun ada banyak poin penting berdasarkan ‘akal sehat’ yang perli kita semua renungkan. Beberapa kutipan poin penting yang bisa didapat dari bab-bab dalam buku tersebut adalah :
- Pasar akan selalu mengikuti hukum aritmatika sederhana. Secara keseluruhan sebagai sekelompok orang, semua investor akan medapatkan semua hasil dari return pasar saham. Secara keseluruhan, kita semua adalah rata-rata. Jika salah satu dari kita mendapatkan return lebih, pasti ada investor lain yang ‘kekurangan’ dalam jumlah yang sama. Sebelum dikurangi oleh biaya investasi, ‘mengalahkan’ pasar saham adalah ‘zero-sum game’/permainan dengan total nol. Namun biaya yang menyertai ‘permainan’ investasi akan mengurangi keuntungan mereka yg menang, serta menambah kerugian mereka yang kalah. Dengan demikian siapa yang ‘menang’? Tentu saja mereka yang ditengah, para pialang, bankir investasi, manajer keuangan, pemasar, pengacara, akuntan, dsb. Hanya merekalah pemenang pasti dalam permainan investasi ini. Hal yang sama dengan kasino, bandar selalu menang/untung, dalam lotere, dalam balap kuda, bandar selalu menang. Begitu juga dengan berinvestasi. Setelah dikurangi biaya-biaya investasi, ‘mengalahkan’ pasar saham adalah permainan dimana kita pasti kalah.
*** Kesimpulannya adalah, kita perlu mengingat bahwa ‘manajer investasi’ bekerja tidak sepenuhnya untuk kepentingan kita, bagaimanapun dunia finansial adalah sebuah ‘bisnis’ dimana mereka memerlukan keuntungan, dan tentu saja kita semua tahu keuntungan tersebut datangnya dari mana ;-). (ingat bagian management fee, biaya pembelian, biaya penjualan, dsb dalam prospektus?)
- Kebanyakan investor terlalu mengabaikan biaya dari investasi. Hal ini dapat terjadi karena :
(1) Begitu banyak komponen biaya yang hampir tidak ‘terlihat’ (biaya transaksi portfolio, biaya pembelian awal, pajak terhadap kenaikan harga saham yang terealisasi);
(2) ketika return dari pasar saham cenderung tinggi (pada tahun 80 dan 90an, di Amerika, return saham rata-rata 17,5% per tahun, sedangkan rata-rata reksadana memberikan return, yang walaupun tidak jelek namun jelas lebih sedikit, 15% per tahun); dan yang terpenting adalah
(3) ketika investor terlalu fokus pada return jangka pendek saja, serta mengabaikan dampak besar dari biaya dalam umur investasi yang panjang. Sebagai contoh perhitungan statistiknya, buku ini mengambil contoh tahun 1980-2005 di Amerika, rata-rata return pasar (berdasarkan indeks S&P 500) adalah 12,5%. Sedangkan rata-rata reksadana secara keseluruhan adalah 10,0%. Selisih 2,5% tersebut sesuai dengan rata-rata perkiraan biaya yang dibebankan MI sebesar 3% per tahun. (Jangan lupa, return pasar dikurangi biaya adalah return investor). Memang 2,5 persen tidak terlihat banyak (apalagi dibandingkan return di bursa Indonesia yg belakangan selalu 2 digit), namun akan berbeda jika di’compund’/bunga berbunga dengan contoh perhitungan. Maka investasi $10.000 pada reksadana indeks akan menjadi $170.800 sedangkan rata-rata reksadana saham menjadi $98.200 atau hanya 57% dari reksadana indeks. Perhitungan ini tentu saja tidak sepenuhnya akurat karena belum memperhitungkan inflasi dan pajak yg berkisar 3,3%.
Untuk ilustrasi yang lengkap, bisa dilihat grafik berikut ini :
*** Saat ini, saya tidak sering melihat dilakukannya perbandingan biaya antara satu reksadana dengan reksadana yang lain, yang lebih banyak ada adalah perbandingan performa yang notabene akan silih berganti akan dipegang oleh MI dengan ‘keberuntungan’ yang terbesar. Hal tersebut akan semakin terlihat dengan alasan pada poin berikutnya ini.
- Return yang dilaporkan dalam Reksadana (Saham) tidak sebesar yang sebenarnya didapatkan oleh Investor Reksadana. Dalam grafik sebelumnya, disampaikan angka return berdasarkan waktu secara sederhana. (Ingat, uang cenderung masuk ke dalam reksadana setelah terlihat performa baik serta keluar begitu performanya jelek). Setelah memperhitungkan pergerakan uang (berdasarkan aset dalam kelolaan) yang keluar masuk reksadana, ternyata rata-rata investor reksadana ‘hanya’ mendapat 7,3% per tahun (kurang 2,7% dari rata2). Agar adil, diakui juga bahwa investor reksadana indeks juga dipengaruhi oleh naik-turunnya pasar, sehingga rata-rata hanya mendapat 10,8% atau 1,5% lebih rendah dari rata-rata reksadana indeks itu sendiri. Walau selisih angka2 ini terlihat tidak seberapa, namun berdasarkan hukum bunga-berbunga (compound interest), maka selisihnya akan menjadi sangat besar seperti dapat dilihat dari grafik berikut.
Berdasarkan perhitungan yang sama dengan poin sebelumnya, nampak bahwa pendapatan nyata rata-rata seorang investor menjadi jauh lebih berkurang akibat adanya kecenderungan ‘bad timing’ oleh investor itu sendiri.
- Memilih pemenang untuk jangka panjang jauh lebih sulit dari kelihatannya. Memang akan selalu ada ‘pemenang’ yang bisa didapat dari catatan performa masa lalu, namun hanya sedikit bukti bahwa performa yang baik akan menetap di masa datang. (Ingat tulisan kecil : ‘performa masa lalu tidak menjamin performa masa datang? Itu serius lho!). Berdasarkan analisa catatan 355 reksadana saham di amerika pada tahun 1970, satu fakta pertama yang penting dilihat adalah 223 dari reksadana tersebut telah ditutup pada 2005 (hampir 2/3!). Jika dibandingkan dengan performa S&P500, akan didapatkan grafik dibawah ini :
Analisa lebih lanjut terhadap 24 ‘pemenang’ itu pun akan menunjukkan hanya 3 yang ‘layak’ dibilang sebagai pemenang (analisa lebih lengkap silahkan baca bukunya).
***Coba renungkan baik2 bahwa ‘bisnis’ reksadana di Indonesia jauh lebih belia dibandingkan dengan Amerika, tanpa bermaksud mendiskreditkan MI manapun di Indonesia, faktor apakah yang menjamin MI kita akan terus berperforma baik di masa datang? Selain memang faktor kondisi pasar saham di Indonesia yang sedang bull dalam beberapa tahun ini, saya pribadi percaya bahwa MI di Indonesia tidak jauh lebih baik daripada om2 di Amerika sono.
Buku ini isinya masih banyak sekali dan tidak mungkin saya ceritakan semuanya disini. Mudah-mudahan dapat jadi masukan, terutama bagi mereka yang berpikir untuk investasi dalam jangka waktu yang panjang (sesuai peruntukan dari reksadana saham). Sebagai penutup dan kesimpulan, penulis buku tersebut mengajak kita untuk memikirkan beberapa kenyataan akal sehat/common sense berikut ini :
- Kita tahu kalau kita musti mulai berinvestasi sedini mungkin, serta terus menyisihkan uang sejak saat kita mulai.
- Kita tahu bahwa berinvestasi mengandung resiko. Namun kita juga tahu bahwa tidak berinvestasi akan memastikan kegagalan kita secara finansial.
- Kita tahu sumber-sumber dari pendapatan/return dalam pasar saham atau obligasi, dan itu merupakan awal dari kebijaksanaan.
- Kita tahu tentang resiko memilih produk investasi tertentu, begitu juga dengan resiko memilih jenis manajer ataupun investasi tertentu dapat dihilangkan dengan diversifikasi total yang ditawarkan oleh reksadana indeks klasik. Yang tersisa hanyalah resiko pasar.
- Kita tahu bahwa biaya/cost itu bermakna, secara luar biasa dalam jangka panjang, serta kita tahu bahwa kita harus meminimalisir biaya tersebut. (begitu juga dengan pajak)
- Kita tahu bahwa mengalahkan pasar ataupun melakukan timing (menentukan kapan waktunya masuk atau keluar) pasar dengan sukses akan selalu memunculkan kontradiksi diri. Sesuatu yang bisa dilakukan sedikit orang tidaklah mungkin bisa dilakukan oleh banyak orang.
- Akhirnya, kita tahu bahwa sesungguhnya kita tidak tahu. Kita tidak akan pernah tahu pasti bagaiman dunia kita besok, apalagi dalam puluhan tahun kedepan. Namun dengan alokasi aset yang cerdas serta pemilihan investasi yang wajar, maka anda akan siap menghadapi berbagai gejolak di masa depan serta dapat melewatinya dengan mulus.
Saya berpendapat bahwa memang tetap ada kemungkinan untuk mendapatkan return yang lebih baik dibandingkan ‘pasar’ (atau investor lainnya) dengan menjadi seorang ‘trader’ aktif. Namun jika anda coba pikirkan biaya dan waktu yang dihabiskan oleh para MI untuk menganalisa pasar, dengan para ahli di bidang analisa teknikal maupun fundamental, dibandingkan dengan kita-kita investor ‘amatiran’ yang punya kesibukan tersendiri, apakah mungkin kita akan ‘mengalahkan’ mereka secara konsisten dalam jangka waktu panjang? :-) Seperti bro passion4u pernah bilang, memang tidak semua orang ber’jiwa’ trader, kita memang perlu menganalisa diri masing-masing masuk kategori mana. Kita perlu menganalisa secara jujur dan obyektif diri kita masing2, apakah kecenderungan kita memang sebagai seorang trader ataukah jiwa ‘penjudi’ dalam diri kita yang berbicara? Kalaupun memang ingin memuaskan hasrat alamiah kita untuk merasakan ‘serunya’ menganalisa pasar, mengendalikan portfolio kita secara aktif, serta merasakan ‘nikmatnya’ saat analisa kita benar, sebaiknya jumlah dana yang digunakan untuk kepentingan tersebut tidak melebihi 20% dari dana kita (atau jumlah lain, selama mayoritas dana investasi kita berada dalam instrumen yang ‘hampir pasti’ memberikan hasil maksimal dari saham, yaitu dengan reksadana indeks).
Bersyukurlah bagi mereka yang masuk pasar dalam beberapa tahun terakhir ini karena pasar sedang bull, namun seperti yang terlihat belakangan (terutama gara2 masalah subprime mortgage), pasar saham kembali menunjukkan sifat jangka pendeknya, yaitu volatilitas. Dalam perhitungan jangka panjang, lebih realistis kita menggunakan angka prediksi 10% kebawah untuk return dari pasar saham, seperti yang telah terbukti dari pasar negara lain yang lebih tua. Jika tidak, itu hanya akan menyebabkan kita kekurangan uang saat pensiun nanti. Jangan lupa bahwa sesuatu yang naik, akhirnya harus turun juga. :-)
Warren Buffet (yang ‘katanya’ investor terbaik di dunia) pernah berkata
"Most investors, both institutional and individual, will find that the best way to own common stocks is through an index fund that charges minimal fees. Those following this path are sure to beat the net results (after fees and expenses) delivered by the great majority of investment professionals."
Sedangkan Charles T. Munger, partner Warren Buffet di Berkshire Hathaway (induk perusahaan kelolaannya), pernah berkata
"The general systems of money management [today] require people to pretend to do something they can’t do and like something they don’t. [it’s] a funny business because on a net basis, the whole investment management business together gives no value added to all buyers combined. That’s the way it has to work, mutual funds charge two percent per year and then brokers switch people between funds, costing another three to four percentage points. The poor guy in the general public is getting a terrible product from the professionals. I think it’s disgusting. It’s much better to be part of a system that delivers value to the people who buy the product."
Sebagai keterangan tambahan, latar belakang saya adalah medis, sama sekali tidak ada hubungan langsung dengan dunia finansial, jadi saya sebenarnya tidak ‘berhak’ untuk berkomentar banyak mengenai dunia ini. Sesuai prinsip portal ini adalah untuk berbagi informasi, saya hanya ingin berbagi isi buku yang menurut saya bagus dengan harapan tidak ada pihak manapun yang ‘tersinggung’. :-) Saya sendiri pemegang reksadana Danareksa Mawar, Manulife Dana Saham, serta Fortis Ekuitas dengan target jangka panjang, invest secara berkala dengan ‘sedikit’ usaha timing, saat ini masih menunggu lahirnya reksadana indeks total dengan cost yang rendah. Semoga bahasan ini bermanfaat. Terima kasih.
|
Comments
Betul sekali
Memang betul, buku ini cuman rekomendasi reksadana yang full index, karena kalau kita ambil sektoral sama saja dengan ber'spekulasi' bahwa sektor mana yang akan lebih baik daripada yang lain. Sedangkan prinsip dasar yang ingin diraih adalah 'rata-rata' total yang minimal biaya... Setahu ane juga belum ada indeks total, baru DINAR-nya danareksa yang pake JII, makanya ane juga masih nunggu kemunculannya di Indonesia... Tapi untuk sementara ini, maka reksadana saham yang solid adalah pilihan terbaik, 'mumpung' trend masih bull dan para MI masih bisa ngelangkahin indeks terus... toh dalam fase awal investasi (return masih lebih kecil daripada jumlah setoran/tambahan yang kita lakukan), yang terpenting adalah memulai untuk invest. Ingat bahwa teman terbaik kita adalah waktu dan return positif (yang konsisten).
To Live. To Love. To Learn. To Leave a Legacy. - Stephen Covey
ETF is for the swinger
Kalo ane sich setuju kalo ETF lebih cocok untuk ditradingkan jangan di buy and hold. Wong udah jelas keuntungan ETF adalah masalah timing & fee kok ... kalo mo buy and hold beli reksadana saham aja ... ETF bisa jadi sangat menguntungkan dalam kondisi bursa gonjang-ganjing kayak sekarang ... wuih sedap long ngeswing-ngeswing ... hehehe ... ane agak kesulitan di reksadana mengendalikan swing yang liar ... tapi di sisi lain ... saham sangat asyik dipermainkan sekarang ini ... Hidup dunia gonjang ganjing hehehe ...
Mo indeks naik kek, mo turun kek, mo sideways kek ... nggak peduli yang penting kita harus tetap untung ... Hidup swing trader hehehe
Seorang Newbie - P a s s i o n 4 U
informasi buku
Bro, nampaknya buku ini wajib saya baca sebagai pemula, dimana bisa didapat buku tersebut di Denpasar? Thanks Bro. Salam.
just e-book
sory, bro... saya juga belum nemu buku fisiknya, cuman baca ebook yg bisa didownload dari link diatas.
Kebetulan asli bali,
Kebetulan asli bali, bro...
Mudah2an memang semuanya punya pikiran terbuka seperti bro juga deh...
Kalo mengenai saham gorengan, semua saham bisa jadi 'gorengan', walaupun saham2 perusahaan kecil atau dengan kapitalisasi kecil lebih rentan karena fluktuasi harganya lebih besar seiring derasnya aliran dana. IMHO.
jadi ingin nanggapin ttg bluechip
maap kalo agak OOT... dan maap krn saya awam di dunia investasi
kalau begitu, memangnya saham yang gorengan di Indonesia itu saham apa aja? Kalo yang nggak?
Soalnya selama ini saya gak tau saya itu orang yang fundamental ato teknikal